Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
terdapat seorang sahabat bernama Abu Dujanah. Setiap usai menjalankan
ibadah shalat berjamaah shubuh bersama Baginda Nabi, Abu Dujanah selalu
tidak sabar. Ia terburu-buru pulang tanpa menunggu pembacaan doa yang
dipanjatkan Rasulullah selesai.
Ada satu kesempatan, Rasulullah mencoba meminta klarifikasi pada pria tersebut.
“Hai,
apakah kamu ini tidak punya permintaan yang perlu kamu sampaikan pada
Allah sehingga kamu tidak pernah menungguku selesai berdoa. Kenapa kamu
buru-buru pulang begitu? Ada apa?” tanya Nabi.
Abu Dujanah menjawab, “Anu Rasulullah, kami punya satu alasan.”
“Apa alasanmu? Coba kamu utarakan!” perintah Baginda Nabi.
“Begini,”
kata Abu Dujanah memulai menguraikan jawabannya. “Rumah kami
berdampingan persis dengan rumah seorang laki-laki. Nah, di atas
pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma
menjulang, dahannya menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin
bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut saling
berjatuhan, mendarat di rumah kami.”
“Ya
Rasul, kami keluarga orang yang tak berpunya. Anakku sering kelaparan,
kurang makan. Saat anak-anak kami bangun, apa pun yang didapat, mereka
makan. Oleh karena itu, setelah selesai shalat, kami bergegas segera
pulang sebelum anak-anak kami tersebut terbangun dari tidurnya. Kami
kumpulkan kurma-kurma milik tetangga kami tersebut yang berceceran di
rumah, lalu kami haturkan kepada pemiliknya.
Satu
saat, kami agak terlambat pulang. Ada anakku yang sudah terlanjur makan
kurma hasil temuan. Mata kepala saya sendiri menyaksikan, tampak ia
sedang mengunyah kurma basah di dalam mulutnya. Ia habis memungut kurma
yang telah jatuh di rumah kami semalam.”
Mengetahui
itu, lalu jari-jari tangan kami masukkan ke mulut anakku itu. Kami
keluarkan apa pun yang ada di sana. Kami katakan, ‘Nak, janganlah kau
permalukan ayahmu ini di akhirat kelak.’ Anakku menangis, kedua pasang
kelopak matanya mengalirkan air karena sangat kelaparan.
Wahai
Baginda Nabi, kami katakan kembali kepada anakku itu, ‘Hingga nyawamu
lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu.
Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku
kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang
berhak’.”
Pandangan mata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sontak berkaca-kaca, lalu butiran air mata mulianya berderai begitu deras.
Baginda Rasulullah Muhammad shallahu alaihi wa sallam mencoba
mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu
Dujanah dalam kisah yang ia sampaikan di atas. Abu Dujanah pun kemudian
menjelaskan, pohon kurma tersebut adalah milik seorang laki-laki
munafik.
Tanpa basa-basi, Baginda Nabi
mengundang pemilik pohon kurma. Rasul lalu mengatakan, “Bisakah tidak
jika aku minta kamu menjual pohon kurma yang kamu miliki itu? Aku akan
membelinya dengan sepuluh kali lipat dari pohon kurma itu sendiri.
Pohonnya terbuat dari batu zamrud berwarna biru. Disirami dengan emas
merah, tangkainya dari mutiara putih. Di situ tersedia bidadari yang
cantik jelita sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada.” Begitu tawar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Pria
yang dikenal sebagai orang munafik ini lantas menjawab dengan tegas,
“Saya tak pernah berdagang dengan memakai sistem jatuh tempo. Saya tidak
mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan dan tidak pakai janji
kapan-kapan.”
Tiba-tiba Abu Bakar as-Shiddiq radliyallahu 'anh datang.
Lantas berkata, “Ya sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat dari
tumbuhan kurma milik Pak Fulan yang varietasnya tidak ada di kota ini
(lebih bagus jenisnya).”
Si munafik berkata kegirangan, “Oke, ya sudah, aku jual.”
Abu Bakar menyahut, “Bagus, aku beli.” Setelah sepakat, Abu Bakar menyerahkan pohon kurma kepada Abu Dujanah seketika.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Hai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu.”
Mendengar
sabda Nabi ini, Abu Bakar bergembira bukan main. Begitu pula Abu
Dujanah. Sedangkan si munafik berlalu. Ia berjalan mendatangi istrinya.
Lalu mengisahkan kisah yang baru saja terjadi. “Aku telah mendapat
untung banyak hari ini. Aku dapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus.
Padahal kurma yang aku jual itu masih tetap berada di pekarangan
rumahku. Aku tetap yang akan memakannya lebih dahulu dan buah-buahnya
pun tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kita itu sedikit pun.”
Malamnya,
saat si munafik tidur, dan bangun di pagi harinya, tiba-tiba pohon
kurma yang ia miliki berpindah posisi, menjadi berdiri di atas tanah
milik Abu Dujanah. Dan seolah-olah tak pernah sekalipun tampak pohon
tersebut tumbuh di atas tanah si munafik. Tempat asal pohon itu tumbuh,
rata dengan tanah. Ia keheranan tiada tara.
Komentar