Siapakah ’Abdullah ibnu Ubay?
Inilah kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam Hijriyah. Saat itu, sang Nabi dan para sahabat baru pulang dari perang Bani Musthaliq dan singgah di muraisi’, sebuah oase yang ditumbuhi banyak kurma. Di tempat ini terdapat mata air Bani Musthaliq. Di sinilah Rasulullah dan rombongan mengambil air dan mengisi perbekalan mereka untuk pulang ke Madinah.
Adalah ‘Umar ibnu Al-Khaththab menyewa Jahjah ibn Mas’ud Al-Ghifari untuk mengurus kudanya. Jahjah yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air. Dia ikut berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan Sinan bin Wabar Al Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang menjadi sekutu bani Aus ibn Khazraj, orang-orang madinah. Jahjah dan Sinan berebut air dan berkelahi.
Sinan berteriak memanggil bantuan, Wahai orang-orang Anshar!”
Jahjah pun berseru meminta pertolongan, “Wahai orang-orang Muhajirin!”
’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul yang mendapat pertengkaran ini naik pitam. “Apakah para Jalabib Quraisy itu telah bersikap demikian?! Serunya murka. “Apakah mereka telah terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri kita sendiri? Demi Allah, kita tidak membekali diri kita dan para hina dina Quraisy itu melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu,
‘Gemukkanlah anjingmu, maka pasti ia akan memakanmu.” Dia mendengkus kesal.
“Oleh karena itu, Demi Allah,” lanjutnya. “
Bila kita telah kembali ke Madinah, maka benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.”
Kemudian ’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul berpaling kepada orang-orang yang ada di sekitarnya dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. “Inilah yang telah kalian perbuat terhadap diri kalian,” semburnya. “Kalian menyediakan negeri kalian untuk mereka. Kalian bagikan kepada mereka harta benda kalian. Demi Allah, sekiranya kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka mereka pasti akan bberalih kepada negeri lain, bukan negeri kalian!”
Zaid ibn Arqam, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat Rasulullah berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan setiap kata yang didengarnya. ‘Umar ibn Al-Khaththab yang ada di sisi Sang Nabi berkata kepada beliau, “Perintahkanlah kepada ‘Abbad ibn Bisyr agar membunuhnya Ya Rasulullah!”
“Lalu bagaimana, wahai ‘Umar,” jawab Sang Nabi, “Bila orang-orang berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak, tapi sekarang serukanlah agar semua pasukan segera bertolak pulang.”
Dalam perjalanan ’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqam melaporkan perkataanya tadikepada Rasulullah. ’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak tidak pernah mengatakan seperti yang dilaporkan Zaid. Apalagi dia termasuk orang yang dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah kaumnya.
“Wahai Rasulullah, “demikian beberapa orang dari kalangan Anshar di dekat Sang Nabi mohon izin bicara, “ Mungkin Zaid ibn Arqam si bocah itu telah salah dalam menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik perkataan ’Abdullah ibnu Ubay.”
’Abdullah ibnu Ubay melirik kepada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu sebagai rasa hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Namun hatinya sakit. Kata-kata mereka justru terasa sebagai hinaan.
Sang Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.
Setelah ’Abdullah ibnu Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dan berkendara agak di belakang, Usaid Ibn hudhair, pemuka Anshar, menjumpai Rasulullah dan dan mengucapkan penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. “Wahai Nabi Allah,” ujarnya, “sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang sangat aneh. Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.”
“Belumkah sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?”
“Teman yang mana?”
“’Abdullah ibnu Ubay.”
“Apa yang dikatakannya Ya Rasulullah”
“Dia , kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, “Menyangka bahwa sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan mengusir orang yang lebih hina darinya.”
“Dia benar Ya Rasulullah,” kata Usaid. “ Demi Allah dia benar. Dan engkau, wahai Nabi, demi Allah, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau menghendaki. Demi Allah, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih kuat dan perkasa!”
Wajah Usaid ibn Hudhair memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian dia berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Sang Nabi. Beliau Shalallahu’alaihi wasallam tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.
“Wahai Rasulullah, “ kata Usaid dengan nada iba, “Kumohon bersikap lembutlah kepada ’Abdullah ibnu Ubay. Karena, demi Allah, kami telah dilimpahi nikmat dengan diutusnya engkau kepada kami.
Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepada kami, maka kaumnya telah menatap permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan di atas kepalanya sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu telah merampas haknya untuk menjadi raja.”
Kini kita tahu. ’Abdullah ibnu Ubay adalah orang yang terluka.
Inilah kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam Hijriyah. Saat itu, sang Nabi dan para sahabat baru pulang dari perang Bani Musthaliq dan singgah di muraisi’, sebuah oase yang ditumbuhi banyak kurma. Di tempat ini terdapat mata air Bani Musthaliq. Di sinilah Rasulullah dan rombongan mengambil air dan mengisi perbekalan mereka untuk pulang ke Madinah.
Adalah ‘Umar ibnu Al-Khaththab menyewa Jahjah ibn Mas’ud Al-Ghifari untuk mengurus kudanya. Jahjah yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air. Dia ikut berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan Sinan bin Wabar Al Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang menjadi sekutu bani Aus ibn Khazraj, orang-orang madinah. Jahjah dan Sinan berebut air dan berkelahi.
Sinan berteriak memanggil bantuan, Wahai orang-orang Anshar!”
Jahjah pun berseru meminta pertolongan, “Wahai orang-orang Muhajirin!”
’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul yang mendapat pertengkaran ini naik pitam. “Apakah para Jalabib Quraisy itu telah bersikap demikian?! Serunya murka. “Apakah mereka telah terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri kita sendiri? Demi Allah, kita tidak membekali diri kita dan para hina dina Quraisy itu melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu,
‘Gemukkanlah anjingmu, maka pasti ia akan memakanmu.” Dia mendengkus kesal.
“Oleh karena itu, Demi Allah,” lanjutnya. “
Bila kita telah kembali ke Madinah, maka benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.”
Kemudian ’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul berpaling kepada orang-orang yang ada di sekitarnya dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. “Inilah yang telah kalian perbuat terhadap diri kalian,” semburnya. “Kalian menyediakan negeri kalian untuk mereka. Kalian bagikan kepada mereka harta benda kalian. Demi Allah, sekiranya kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka mereka pasti akan bberalih kepada negeri lain, bukan negeri kalian!”
Zaid ibn Arqam, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat Rasulullah berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan setiap kata yang didengarnya. ‘Umar ibn Al-Khaththab yang ada di sisi Sang Nabi berkata kepada beliau, “Perintahkanlah kepada ‘Abbad ibn Bisyr agar membunuhnya Ya Rasulullah!”
“Lalu bagaimana, wahai ‘Umar,” jawab Sang Nabi, “Bila orang-orang berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak, tapi sekarang serukanlah agar semua pasukan segera bertolak pulang.”
Dalam perjalanan ’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqam melaporkan perkataanya tadikepada Rasulullah. ’Abdullah ibnu Ubay ibn Salul bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak tidak pernah mengatakan seperti yang dilaporkan Zaid. Apalagi dia termasuk orang yang dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah kaumnya.
“Wahai Rasulullah, “demikian beberapa orang dari kalangan Anshar di dekat Sang Nabi mohon izin bicara, “ Mungkin Zaid ibn Arqam si bocah itu telah salah dalam menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik perkataan ’Abdullah ibnu Ubay.”
’Abdullah ibnu Ubay melirik kepada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu sebagai rasa hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Namun hatinya sakit. Kata-kata mereka justru terasa sebagai hinaan.
Sang Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.
Setelah ’Abdullah ibnu Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dan berkendara agak di belakang, Usaid Ibn hudhair, pemuka Anshar, menjumpai Rasulullah dan dan mengucapkan penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. “Wahai Nabi Allah,” ujarnya, “sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang sangat aneh. Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.”
“Belumkah sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?”
“Teman yang mana?”
“’Abdullah ibnu Ubay.”
“Apa yang dikatakannya Ya Rasulullah”
“Dia , kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, “Menyangka bahwa sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan mengusir orang yang lebih hina darinya.”
“Dia benar Ya Rasulullah,” kata Usaid. “ Demi Allah dia benar. Dan engkau, wahai Nabi, demi Allah, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau menghendaki. Demi Allah, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih kuat dan perkasa!”
Wajah Usaid ibn Hudhair memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian dia berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Sang Nabi. Beliau Shalallahu’alaihi wasallam tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.
“Wahai Rasulullah, “ kata Usaid dengan nada iba, “Kumohon bersikap lembutlah kepada ’Abdullah ibnu Ubay. Karena, demi Allah, kami telah dilimpahi nikmat dengan diutusnya engkau kepada kami.
Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepada kami, maka kaumnya telah menatap permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan di atas kepalanya sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu telah merampas haknya untuk menjadi raja.”
Kini kita tahu. ’Abdullah ibnu Ubay adalah orang yang terluka.
Komentar